Perjalanan Panjang Menggapai Mimpi-mimpi Ukhrawi
Saya ingin belajar menggoreskan kalimat demi kalimat tentang diri saya sendiri. Goresan kalimat-kalaimat yang akan berada di beranda blog saya ini akan menjadi catatan sejarah perjalanan seorang anak manusia yang sangat jauh dari sempurna, jauh dari "hebat' , jauh dari "cerdas" dan jauh dari "pintar". Anak Manusia yang hanya mencoba untuk menjalani sisa-sisa umur yang diberikan Allah sebagai suatu anugrah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di Akhirat nanti.
Tidak bermaksud untuk jumawa, sombong apalagi ujub, namun semoga goresn ini suatu saat akan dibacaoleh anak saya, cucu saya, saudara dan saudari saya, Mertua saya,istri saya, kawan seperjuangan saya, kawan yang kenal hanya sesaat, serta orang lain yang mungkin adalah bagian dari hidup saya.
Tidak terpikirkan sedikitpun dalam hati saya, bahwa goresan ini merupakan alat dan media bagi saya untuk bersombong-ria, sok-hebat, sok-pintar, sok-ngerti, sok-paham dan segala sok-sok yang lainnya. Semoga Allah saja yang mengerti dan menilai apa yang ada dalam hati saya.
1. Periode Masa kanak-kanak
Masa kanak-kanak tidak terlalu ingat. Banyak sejarah yang tentunya hanya bisa saya lihat lewat dokumentasi poto dan cerita dari ibu saya. saya lahir di Pekanbaru. Pekanbaru merupakan kota perantauan dari orang tua saya yang hidup sebagai pedagang. Orang tua saya adalah pedagang yang menjual barang-barang "paneh" kalau dalam istilah Minangnya. Barang "paneh" ini seperti jualan sayuran, cabe, tomat dan bumbu-bumbu. Kenapa disebut barang "paneh"?. Karena barang ini tingkat kerusakannya sangat tinggi, selain itu, juga sistem jual-beli dan transaksinya antara agen dan reseller juga mengandung resiko yang cukup besar, misalkan, Kami sebagai agen yang ada di pekan Baru order pesanan kepada Agen yang ada di Padang. Dalam pesanan disebutkan semua jumlah dan bentuk yang sudah disepakati. Kesepakatannya baik, nama, harga, berat dan kuantitas serta kualitas yang disepakati. Namun Faktanya, yang terjadi bisa saja, produk pesanan yang terkirim tidak sesuai dengan apa yang kami pesan, Ini sudah menjadi rahasia umum. Mestinya ini adalah wanprestasi, artinya menyalahi secara hukum. Namun, karena Sudah tau sama tau, semua masalah ini dianggap biasa, yang penting hubungan baik tetap terjalin antara satu agen dengan agen lainnya.Kasus yang sederhana misalnya adalah, kualitas sayur yang dikirim tdk sesuai, atau jumlah yang diminta beratnya tidak sesuai, atau bisa jadi antara barang yang dipesan dengan yang datang juga berbeda.
Pada usia 4 tahun kami kembali ke kampung halaman. Di kampung halaman, orang tua tetap berdagang. Usaha di kampung kami adalah usaha toko eceran yang menjual segala perlengkapan dan kebutuhan harian. Oh ya nama kampung saya adalah kampuang nan limo, Kubang Putih, Banuhampu, Kabupaten Agam Sumatera Barat. Usaha toko ini sangat bagus dan prospek sekali. karena posisi rumah kami persis sangat dekat dengan sebuah sekolah Madrasah Sanawiyah dan Madrasah Aliyah. sehingga segmentasi pasarnya cukup mengena yakni anak sekolah. Saya masih ingat ketika saya sudah memasuiki usia 6 tahun dan sekolah Taman kanak-kanak, saya selalu ikut nimbrung di toko. Toko dalam bahasanya minangnya adalah Lapau. Lapau kami terkenal dengan nama Lapau Tuan. Tuan ini adalah panggilan yang berkonotasi kakak. Nah, istilah lapau tuan ini lahir, karena semua konsumen yang membeli di Lapau kami semuanya memanggil nama Tuan kepada Apa (Bapak) saya. Lucu ya? semua orang yang umurnya dari kecil sampai tua memanggil Tuan kepada Apa (Bapak) saya. Alhamdulillah, perkembangan lapau kami cukup baik. penjualan setiap. hari bisa mencapai Rp 500.000. Ini saya masih ingat ketika saya selalu membantu Apa di Lapau.
Saya sering sekali membantu Apa di Lapau. dari melayani konsumen yang membeli, membeli barang kualakan, mengambil sate dengan gerobak ke suatu daerah yang jaraknya sekitar 1sd 2 KM, ikut mengipas sate dan sampai membungkus sate yang dibeli oleh konsumen. Kadang-kadang Apa menyuruh saya untuk menghitung pendapatan harian. Di sinilah saya tau berapa jumlah penjualan setiap hari. Setiap saya menghitung uang setiap hari, saya selalu tidak perduli berapa banyaknya dan berapa besar jumlahnya. Saya hanya fokus untuk menghitung dan menghitung saja, kemudian di pisahkan antara uang yang jumlah besar, kecil dan koin.
Ada cerita lucu, konyol dan mungkin ini sedikit negatif, namun bagi saya ini snagat penting. sebuah paradoks sifat dan sikap saya. Ceritanya adalah tentang "siasat licik" saya waktu kecil. di banding saudara saya yang lain, saya paling sering menjaga toko, sehingga Apa selalu minta saya menghitung uang. Nah, setiap saya menghitung uang, timbul niat saya untuk menyisihkan buat saya, hahahaha. Pokoknya, setiap kali saya menghitung uang, saya selipkan Rp 1000 sd Rp 2000 dalam saku saya. Uang yang saya selipkan akhirnya saya masukkan dalam tabungan ikan saya. dan akhirnya, tabungan ini terkuras juga ketika kami mengalami krisi pada tahun 90an. dimana Lapau kami mulai tergerus stoknya, penjualannya menurun dan akhirnya berjalan tertatih-tatih. Uang yang saya tabung akhirnya , saya pakai untuk membayar Kursus Bahasa Inggris, beli buku dan segala perlengkapan sekolah saya sendiri.
selain itu, ada juga cerita yang menarik, tabungan saya tidak hanya berasal dari uang yang saya selipkan dari uang lapau. Namun, ada sumber lain yakni dari hasil penjualan maianan saya, sepetti main gambar-gambar, dadu (kelereng) dan maianan lain. Entah kenapa, saya selalu menang dalam setiap permaianan (zaman dulu ini jadi mainan favorit anak-anak kampung) yang digelar oleh anak-anak seusia saya. Hasil jualan saya bersumber dari pembelian kawan-kawan yang di kampuang dan sekolah. Lucu yaa??..bahkan saya pernah juga terlibat judi kecil-kecilan...kwkwkwkw. ada yang main kartu pakai uang, main uang yang dimasukkan ke dalam lobang, main uang yang dipantulkan ke dinding dll. kenapa pula saya ikut-ikutan permaiann ini? padahal saya besar di sebuah keluarga yang agamis dan fanatik.
Kami 3 bersaudara, selalu jalan kaki untuk sampai ke sekolah ini. Semangat untuk sekolah tidak pudar hanya karena kami harus jalan kaki setiap hari dengan menghabiskan waktu 10-15 menit setiap harinya. begitu juga pulang sekolah, kami harus jalan kaki lagi. Di sekolah ini juga saya sudah mulai melakukan aksi "jualan" atau "berdagang". Setiap hari saya membawa makanan kecil yang waktu itu namanya Choki-choki. Makanan ini juga makanan favorit saya, jadi sekalian bisa menikmati dan bisa untuk dijual. Alhamdulillah setiap dagangan yang saya bawa pasti habis. sehingga dari hasil ini saya bisa berikan lagi kepada orang tua hasilnya. Sederhana sekali pikiran saya waktu itu, kenapa saya mau menjualkan produk ini? karena saya suka, dan saya bisa beli juga dari hasil keuntungan yang diperoleh, jual sendiri makan juga sendiri, hahahaha.
2. Masa-masa Remaja
Pada usia 4 tahun kami kembali ke kampung halaman. Di kampung halaman, orang tua tetap berdagang. Usaha di kampung kami adalah usaha toko eceran yang menjual segala perlengkapan dan kebutuhan harian. Oh ya nama kampung saya adalah kampuang nan limo, Kubang Putih, Banuhampu, Kabupaten Agam Sumatera Barat. Usaha toko ini sangat bagus dan prospek sekali. karena posisi rumah kami persis sangat dekat dengan sebuah sekolah Madrasah Sanawiyah dan Madrasah Aliyah. sehingga segmentasi pasarnya cukup mengena yakni anak sekolah. Saya masih ingat ketika saya sudah memasuiki usia 6 tahun dan sekolah Taman kanak-kanak, saya selalu ikut nimbrung di toko. Toko dalam bahasanya minangnya adalah Lapau. Lapau kami terkenal dengan nama Lapau Tuan. Tuan ini adalah panggilan yang berkonotasi kakak. Nah, istilah lapau tuan ini lahir, karena semua konsumen yang membeli di Lapau kami semuanya memanggil nama Tuan kepada Apa (Bapak) saya. Lucu ya? semua orang yang umurnya dari kecil sampai tua memanggil Tuan kepada Apa (Bapak) saya. Alhamdulillah, perkembangan lapau kami cukup baik. penjualan setiap. hari bisa mencapai Rp 500.000. Ini saya masih ingat ketika saya selalu membantu Apa di Lapau.
Saya sering sekali membantu Apa di Lapau. dari melayani konsumen yang membeli, membeli barang kualakan, mengambil sate dengan gerobak ke suatu daerah yang jaraknya sekitar 1sd 2 KM, ikut mengipas sate dan sampai membungkus sate yang dibeli oleh konsumen. Kadang-kadang Apa menyuruh saya untuk menghitung pendapatan harian. Di sinilah saya tau berapa jumlah penjualan setiap hari. Setiap saya menghitung uang setiap hari, saya selalu tidak perduli berapa banyaknya dan berapa besar jumlahnya. Saya hanya fokus untuk menghitung dan menghitung saja, kemudian di pisahkan antara uang yang jumlah besar, kecil dan koin.
Ada cerita lucu, konyol dan mungkin ini sedikit negatif, namun bagi saya ini snagat penting. sebuah paradoks sifat dan sikap saya. Ceritanya adalah tentang "siasat licik" saya waktu kecil. di banding saudara saya yang lain, saya paling sering menjaga toko, sehingga Apa selalu minta saya menghitung uang. Nah, setiap saya menghitung uang, timbul niat saya untuk menyisihkan buat saya, hahahaha. Pokoknya, setiap kali saya menghitung uang, saya selipkan Rp 1000 sd Rp 2000 dalam saku saya. Uang yang saya selipkan akhirnya saya masukkan dalam tabungan ikan saya. dan akhirnya, tabungan ini terkuras juga ketika kami mengalami krisi pada tahun 90an. dimana Lapau kami mulai tergerus stoknya, penjualannya menurun dan akhirnya berjalan tertatih-tatih. Uang yang saya tabung akhirnya , saya pakai untuk membayar Kursus Bahasa Inggris, beli buku dan segala perlengkapan sekolah saya sendiri.
selain itu, ada juga cerita yang menarik, tabungan saya tidak hanya berasal dari uang yang saya selipkan dari uang lapau. Namun, ada sumber lain yakni dari hasil penjualan maianan saya, sepetti main gambar-gambar, dadu (kelereng) dan maianan lain. Entah kenapa, saya selalu menang dalam setiap permaianan (zaman dulu ini jadi mainan favorit anak-anak kampung) yang digelar oleh anak-anak seusia saya. Hasil jualan saya bersumber dari pembelian kawan-kawan yang di kampuang dan sekolah. Lucu yaa??..bahkan saya pernah juga terlibat judi kecil-kecilan...kwkwkwkw. ada yang main kartu pakai uang, main uang yang dimasukkan ke dalam lobang, main uang yang dipantulkan ke dinding dll. kenapa pula saya ikut-ikutan permaiann ini? padahal saya besar di sebuah keluarga yang agamis dan fanatik.
Kenapa saya terlibat dengan permainan-permainan ini sewaktu
masih kecil? Kenapa pula saya menikmati sebagai sebuah permainan yang
mengasyikan. Dismaping bermain, saya juga mendapatkan uang yang jumlahnya bagi
saya juga cukup besar. Sebenarnya Saya tidak terlalu ingat persisnya, namun ini
dampak dari pemahaman saya yang mungkin sungguh keliru. Waktu itu, ketika masih
di Sekolah dasar saya sempat mendengarkan perkataan guru agama saya, bahwa uang
yang berasal dari hasil jualan permainan-permainan tersebut tidak masalah, yang
penting asal jangan dibelikan buat makan saja, misla untuk beli buku, pensil,
balpoin atau kelengkapan sekolah. Nah, pemahaman saya ini, akhirnya saya
tafsirkan sendiri (tafsir anak-anak) bahwa kalau main kartu dapat uang boleh
juga, main masukkan uang ke dalam lobang boleh juga atau permainan melemparkan
koin juga boleh..hahahaha. Singkat cerita, uang yang saya hasilkan ini ternyata
sungguh membuat saya sendiri tidak percaya, sampai ketika saya harus membongkar
celengan saya, itu semua cukup untuk membayar biaya kursus saya di LB-LIA
Bukittingi, kursus bahasa Inggris.
Oh ya, saya juga belum cerita ya, taman kanak-kanak saya
sekolah di Taman kanak-kanak Bulaan Kamba, sebuah dusun (jorong) yang ada di
desa Kubang Putiah (Nagari). Sekolah ini sangat berkesan bagi saya, dulu
bagaimana kami hanya selalu bermain sambil belajar, bermain dan belajar tanpa
harus dipaksakan menguasai matematika atau lainnya. Saya masih ingat kasih
sayang seorang guru di sekolah ini teringat sampai sekarang, bagaimana mereka
sangat telaten penuh kasih sayang mengajak kami bermain, melerai yang suka
berantam dan mengajari kami berbagai pengetahuan menggambar, keterampilan
membuat mainan kertas dll.Seklah ini berjarak 1 KM dari rumah saya, dan saya
sering jalan kaki pergi sekolah dan pulang sekolah juga jalan kaki. Zaman dulu,
membiarkan anak usia Taman kanak-kanak menjadi hal yang biasa, mungkin zaman
itu (tahun 1984-1985) masih aman. Tindakan kriminal masih sedikit sekali,
dibanding zaman sekarang, dimana anak-anak sekolah harus di atntar dan juga
mesti dijemput lagi.
Menginjak Sekolah Dasar, saya dimasukkan
disebuah sekolah Inpres, daerah manggulimau (Dusun mato jariang). Sekolah ini
juga berjarak 1 sd 1,5 KM dari rumah. sSekolah ini merupakan tempat kami 3
bersaudara yang didahului oleh kakak tertua saya, Kak Resi Kemudian Uda Deni. Orang tua saya memilih untuk menyekolahkan kami di sini karena sekolah ini diajarkan untuk membaca Al-quran sampai khatam Al-quran. Di kampung saya, ada budaya "Khataman Alqur-an" bagi anak-anak yang sudah pintar membaca Al-quran dan dipertontonkan di depan masyarakat dan orang tua. Kegiatan ini diadakan sebagai bentuk apresiasi terhadap anajk-anak yang sudah dengan semangat belajar al-quran dengan tajwid dan irama yang baik.Kami 3 bersaudara, selalu jalan kaki untuk sampai ke sekolah ini. Semangat untuk sekolah tidak pudar hanya karena kami harus jalan kaki setiap hari dengan menghabiskan waktu 10-15 menit setiap harinya. begitu juga pulang sekolah, kami harus jalan kaki lagi. Di sekolah ini juga saya sudah mulai melakukan aksi "jualan" atau "berdagang". Setiap hari saya membawa makanan kecil yang waktu itu namanya Choki-choki. Makanan ini juga makanan favorit saya, jadi sekalian bisa menikmati dan bisa untuk dijual. Alhamdulillah setiap dagangan yang saya bawa pasti habis. sehingga dari hasil ini saya bisa berikan lagi kepada orang tua hasilnya. Sederhana sekali pikiran saya waktu itu, kenapa saya mau menjualkan produk ini? karena saya suka, dan saya bisa beli juga dari hasil keuntungan yang diperoleh, jual sendiri makan juga sendiri, hahahaha.
2. Masa-masa Remaja
Comments
Post a Comment